PT Equityworld | Kepolisian Bangladesh akan memulangkan 70 orang Rohingya yang ditahan di perbatasan ketika mencoba kabur dari Myanmar untuk menghindari konflik akibat kekerasan militer di Rakhine selama sebulan belakangan.
"Kami menangkap mereka setelah masuk (ke Bangladesh) secara ilegal. Mereka akan dipulangkan," ujar Shyamol Kumar Nath, kepala kepolisian Cox's Bazar, kota yang terletak di perbatasan Bangladesh dan Myanmar.
Namun, seorang pemimpin komunitas Rohingya mengatakan kepada AFP bahwa bahaya menanti mereka yang dipulangkan dari Bangladesh. Menurutnya, tentara akan membunuh mereka.
"Kami mendapatkan informasi bahwa tentara Myanmar membunuh mereka yang dipulangkan dari Bangladesh. Mereka sudah membakar desa-desa mereka dan membunuh kerabat mereka. Mereka akan membunuh orang-orang tak berdosa ini," ucapnya.
Sementara itu, Rohingya yang ingin kabur dari kekerasan di Myanmar kian bertambah. Beberapa pemimpin komunitas memperkirakan, setiap malam ada 500 orang Rohingya yang mencoba kabur ke Bangladesh.
Kini, setidaknya 1.200 keluarga Rohingya masih bersembunyi di dekat perbatasan, menunggu datangnya malam agar dapat mengelabui pasukan penjaga.
Selama beberapa hari belakangan, diperkirakan 2.000 orang Rohingya sudah menyeberangi perbatasan Bangladesh.
Beberapa dari mereka berhasil memasuki Bangladesh dengan bantuan penyelundup, salah satunya Jahanara Begum. Ia melakukan perjalanan dengan putri dan keponakannya. Sesampainya di Bangladesh, kedua anak perempuan itu hilang.
"Pria yang membawa kami masuk mengatakan bahwa kedua gadis itu ditahan, tapi tak ada polisi yang mendatangi kami. Saya yakin mereka diculik oleh warga lokal," kata Jahanara.
Bagi orang Rohingya yang berhasil lolos menyusup ke kamp pengungsi legal pun masih tetap menghadapi ketakutan. Jika ditemukan oleh petugas, mereka akan langsung dipulangkan ke kampung halaman, di mana kekerasan masih terus terjadi.
Bentrokan antara militer Myanmar dan Rohingya memanas sejak 9 Oktober lalu, ketika tentara melakukan gempuran di utara Rakhine. Dalam insiden itu, sembilan polisi tewas, satu hilang, dan lima lainnya terluka.
Media lokal Myanmar memberitakan bahwa pasukan keamanan sudah menghabisi hampir 70 nyawa dan menahan 400 orang lainnya setelah meningkatnya bentrokan pada awal bulan ini. Namun, kelompok aktivis mengatakan, jumlah itu bisa jauh lebih tinggi.
Konflik ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu. Bentrokan saat itu menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Selama ini, sebagian besar dari 1,1 juta total populasi Muslim Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam diskriminasi. Mereka ditolak karena dianggap pendatang dari Bangladesh. Rohingya sendiri merasa sudah menjadi bagian dari Myanmar karena mereka telah melahirkan beberapa generasi di sana.
"Kami menangkap mereka setelah masuk (ke Bangladesh) secara ilegal. Mereka akan dipulangkan," ujar Shyamol Kumar Nath, kepala kepolisian Cox's Bazar, kota yang terletak di perbatasan Bangladesh dan Myanmar.
Namun, seorang pemimpin komunitas Rohingya mengatakan kepada AFP bahwa bahaya menanti mereka yang dipulangkan dari Bangladesh. Menurutnya, tentara akan membunuh mereka.
"Kami mendapatkan informasi bahwa tentara Myanmar membunuh mereka yang dipulangkan dari Bangladesh. Mereka sudah membakar desa-desa mereka dan membunuh kerabat mereka. Mereka akan membunuh orang-orang tak berdosa ini," ucapnya.
Sementara itu, Rohingya yang ingin kabur dari kekerasan di Myanmar kian bertambah. Beberapa pemimpin komunitas memperkirakan, setiap malam ada 500 orang Rohingya yang mencoba kabur ke Bangladesh.
Kini, setidaknya 1.200 keluarga Rohingya masih bersembunyi di dekat perbatasan, menunggu datangnya malam agar dapat mengelabui pasukan penjaga.
Selama beberapa hari belakangan, diperkirakan 2.000 orang Rohingya sudah menyeberangi perbatasan Bangladesh.
Beberapa dari mereka berhasil memasuki Bangladesh dengan bantuan penyelundup, salah satunya Jahanara Begum. Ia melakukan perjalanan dengan putri dan keponakannya. Sesampainya di Bangladesh, kedua anak perempuan itu hilang.
"Pria yang membawa kami masuk mengatakan bahwa kedua gadis itu ditahan, tapi tak ada polisi yang mendatangi kami. Saya yakin mereka diculik oleh warga lokal," kata Jahanara.
Bagi orang Rohingya yang berhasil lolos menyusup ke kamp pengungsi legal pun masih tetap menghadapi ketakutan. Jika ditemukan oleh petugas, mereka akan langsung dipulangkan ke kampung halaman, di mana kekerasan masih terus terjadi.
Bentrokan antara militer Myanmar dan Rohingya memanas sejak 9 Oktober lalu, ketika tentara melakukan gempuran di utara Rakhine. Dalam insiden itu, sembilan polisi tewas, satu hilang, dan lima lainnya terluka.
Media lokal Myanmar memberitakan bahwa pasukan keamanan sudah menghabisi hampir 70 nyawa dan menahan 400 orang lainnya setelah meningkatnya bentrokan pada awal bulan ini. Namun, kelompok aktivis mengatakan, jumlah itu bisa jauh lebih tinggi.
Konflik ini merupakan yang terparah sejak aksi kekerasan oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu. Bentrokan saat itu menewaskan 200 orang dan menyebabkan 140 ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Selama ini, sebagian besar dari 1,1 juta total populasi Muslim Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam diskriminasi. Mereka ditolak karena dianggap pendatang dari Bangladesh. Rohingya sendiri merasa sudah menjadi bagian dari Myanmar karena mereka telah melahirkan beberapa generasi di sana.