Equity World | Emas Pesta Pora, Saham Malah Merana
Equity World | Pasar keuangan Indonesia cenderung kurang menggembirakan pada perdagangan Senin (20/3/2023) kemarin, di mana investor masih cenderung mengamati perkembangan dari krisis perbankan di Amerika Serikat (AS).
Kembali hijaunya Wall Street diharapkan menular ke pasar saham Indonesia dan memberi suntikan positif ke rupiah dan pasar obligasi. Selengkapnya mengenai sentimen dan seperti apa proyeksi pergerakan IHSG hari ini bisa dibaca pada halaman 4 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup terkoreksi, sedangkan untuk harga obligasi pemerintah RI terpantau bervariasi.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup merosot 0,98% ke posisi 6.612,49. IHSG masih diperdagangkan di level psikologis 6.600 kemarin.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 7,8 triliun dengan melibatkan 19 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali. Sebanyak 175 saham menguat, 346 saham melemah, dan 189 saham lainnya stagnan.
Investor asing pun mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 583,36 miliar di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.
Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, pada perdagangan kemarin kompak berakhir di zona merah, tidak ada satupun yang menguat. Indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling parah koreksinya, disusul Nikkei 225 Jepang dan ASX 200 Australia.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin juga ditutup melemah di hadapan dolar AS, atau The Greenback. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.355/US$, melemah 0,1% di pasar spot kemarin.
Namun sayangnya, di kawasan Asia sendiri secara mayoritas menguat di hadapan The Greenback. Rupiah mengikuti rupee India, won Korea Selatan, dan dolar Singapura.
Sedangkan untuk yuan China, dolar Hong Kong, yen Jepang, peso Filipina, baht Thailand, dan dolar Taiwan terpantau ditutup di zona hijau.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya cenderung beragam, menandakan bahwa imbal hasil (yield) juga bervariasi dan sikap investor juga beragam.
Melansir data dari Refinitiv,SBN tenor 5 dan 10 tahun mengalami penurunan yield yakni masing-masing sebesar 4,4 basis poin (bp) dan 6,2 bp.
Sedangkan untuk SBN tenor 15 dan 20 tahun mengalami kenaikan yield masing-masing 4,4 bp dan 1,1 bp.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pelaku pasar masih memantau perkembangan dari krisis perbankan di AS. Mereka akan terus memantau apakah kasus First Republic Bank akan menjadi kasus terakhir atau masih akan ada "korban" baru, meskipun sebelumnya ada kabar baik bahwa 11 bank di AS berniat membantu First Republic Bank agar dampak krisis tidak semakin meluas.
Selain itu, perhatian pasar global tertuju pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Selasa hingga Rabu pekan ini waktu setempat.
Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) dan beberapa bank di AS lainnya, The Fed diprediksi tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga acuannya yang juga bisa menguntungkan bagi rupiah.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group pelaku pasar melihat ada probabilitas sebesar 62%, The Fed akan menaikkan suku bunganya lagi sebesar 25 basis poin (bp). Sementara 20% probabilitas sisanya melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya.
Ekspektasi tersebut berbalik dengan cepat pasca kolapsnya SVB, sebelumnya pasar yakin The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bp.
Meskipun optimisme pasar melihat dari inflasi AS yang kembali melandai menjadi 6% pada Februari lalu, The Fed juga mempertimbangkan kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih cukup kuat, sembari juga perlu melihat kondisi perbankan di AS.