Selasa, 18 Oktober 2022

Equity World | Angin Surga Datang dari Wall Street, Kabar Baik Buat IHSG?

Equity World | Angin Surga Datang dari Wall Street, Kabar Baik Buat IHSG?

Equity World | Mayoritas pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Senin (17/10/2022) cenderung positif, di mana hanya rupiah saja yang mencatatkan kinerja yang kurang baik kemarin.

Di pasar saham dalam negeri, menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup menguat 0,24% ke posisi 6831,12.

IHSG sempat menyentuh zona merah pada perdagangan sesi I hingga awal perdagangan sesi II kemarin. Bahkan, IHSG sempat menyentuh zona psikologis 6.700 dan mencetak level terendah hariannya di 6.747,38 pada awal perdagangan sesi I kemarin.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 14 triliun dengan melibatkan 29 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 153 saham menguat, 411 saham melemah, dan 120 saham lainnya stagnan.

Investor asing kembali melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 492,46 miliar di pasar reguler. Tetapi di pasar tunai dan negosiasi, asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) cukup besar yakni mencapai Rp 2,89 triliun.

Di Asia-Pasifik, secara mayoritas mengalami penguatan. Kecuali indeks ASX 200 Australia, Nikkei 225 Jepang, Straits Times Singapura, dan Weighted Index Taiwan (TAIEX).

Dari indeks Asia-Pasifik yang mengalami penguatan, indeks saham Filipina memimpin dengan ditutup melesat 1,11%. Kemudian disusul BSE Sensex India yang menguat 0,85%.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan Senin kemarin ditutup melemah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Mengacu pada data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah sudah melemah 0,26% ke Rp 15.465/US$. Pukul 11.00 WIB rupiah terpantau masih tak berdaya melawan dolar AS, dan terpantau melemah 0,3% ke Rp 15.472/US$.

Di penutupan perdagangan, rupiah tembus ke Rp 15.485/US$, melemah 0,39% di pasar spot, sekaligus menjadi posisi baru terlemah dalam 2,5 tahun terakhir. Dengan ini, rupiah nyaris jatuh ke jurang 15.500/US$.

Secara mayoritas, mata uang Asia-Pasifik cenderung bervariasi. Mata uang dolar Australia, rupee India, won Korea Selatan, peso Filipina, dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan cenderung menang melawan sang greenback (dolar AS).

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin, secara mayoritas mengalami kenaikan harga dan penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor ramai memburunya.

Hanya SBN tenor 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 30 tahun naik 1 basis poin (bp) ke posisi 7,356% pada perdagangan hari ini.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik melandai 9,2 bp menjadi 7,454%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Dari dalam negeri, surplus neraca perdagangan Indonesia menyusut menjadi US$ 4,99 miliar pada September 2022. Di luar proyeksi, impor anjlok pada September bahkan mencatatkan rekor terendahnya dalam empat bulan terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar. Nilai tersebut turun 11% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm), tetapi masih meningkat 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).

Sedangkan impor pada September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar, turun 10,58% (mtm) dan melonjak 22,01% (yoy).

Dengan demikian, neraca perdagangan pada September membukukan surplus sebesar US$ 4,99 miliar. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Agustus sebesar US$ 5,71 miliar.

Surplus perdagangan tersebut sejalan dengan konsensus pasar. Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 13 ekonom memperkirakan surplus pada Agustus hanya akan mencapai US$ 4,85 miliar.

Data BPS menunjukkan impor naik 20,28% (yoy) pada September. Kenaikan secara tahunan (yoy) tersebut adalah yang terendah sejak Februari 2021.

Nilai impor September juga jauh lebih kecil dibandingkan proyeksi polling CNBC Indonesia yang memperkirakan impor akan tumbuh 34,31%.

Impor, baik sektor migas ataupun non-migas, sama-sama anjlok di kisaran 11% dibandingkan bulan sebelumnya.

Penurunan impor migas terutama terjadi pada hasil minyak. Impor komoditas tersebut turun 6,8% dari US$ 2,16 miliar pada Agustus menjadi US$ 2,01 miliar pada pada September 2022.

Dilihat dari golongan barangnya, penurunan impor terutama terjadi pada besi dan baja, bahan kimia organic, serta mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya.

Impor terbesar Indonesia pada September masih dipegang mesin/peralatan mekanis dan bagiannya. Impor kelompok barang tersebut mencapai US$ 2,78 miliar pada September, turun 6,67% (mtm).

Impor mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya anjlok 11,5% (mtm) pada September menjadi US$ 2,27 miliar. Impor Besi dan baja ambles 25,6% (mtm) pada September menjadi US$ 996,1 juta sementara impor bahan kimia organic terperosok 23,1% menjadi US$ 508,9 juta.

Semua golongan penggunaan barang juga mencatatkan penurunan impor pada Agustus. Impor barang modal menyusut 6,4% (mtm) menjadi US$ 3,32 miliar. Impor bahan baku/penolong anjlok 11,1% menjadi US$ 14,91 miliar sementara impor barang konsumsi ambles 14,13% menjadi US$ 1,59 miliar.

Impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi salah satu indikator bagi pertumbuhan ekonomi ke depan. Investasi biasanya akan mengikuti tren impor bahan baku/penolong dan barang modal dalam selisih tiga bulan.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan impor konsumsi melandai karena konsumen masih menahan pembelian barang tahan lama (durable goods).

"Kalau saya melihat ini karena spending ke durable goodsnya masih lemah dan pengaruh juga dengan disrupsi rantai pasok global," kata Irman, kepada CNBC Indonesia.