Equity World | Bursa Asia Ditutup Loyo, Kecuali Nikkei-IHSG
Equity World | Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup melemah pada perdagangan Selasa (17/1/2023), setelah dirilisnya data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2022.
Hanya indeks Nikkei 225 Jepang dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup di zona hijau pada hari ini. Nikkei melonjak 1,23% ke posisi 26.138,699, sedangkan IHSG berakhir melesat 1,19% menjadi 6.767,34.
Sementara sisanya ditutup di zona merah. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup melemah 0,78% ke 21.577,64, Shanghai Composite China turun 0,1% ke 3.224,24, Straits Times Singapura turun tipis 0,09% ke 3.280,51, ASX 200 Australia juga turun tipis 0,03% ke 7.386,3, dan KOSPI Korea Selatan merosot 0,85% menjadi 2.379,39.
Dari China, pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2022 tercatat 3%, meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,5%.
Pertumbuhan tersebut menjadi salah satu yang terlemah dalam 40 tahun terakhir, di samping 2020 yang hanya naik 2,2% akibat pandemi Covid-19. Adapun, pada 2021, ekonomi China melesat sebesar 8.1%.
Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Nasional China hari ini, pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV-2022 tercatat sebesar 2,9% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Pertumbuhan tersebut turun dari realisasi pada kuartal sebelumnya sebesar 3,9% (yoy), namun jauh di atas ekspektasi dan konsensus para analis sebesar 1,8% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi yang melampaui ekspektasi itu terjadi di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Negeri Tirai Bambu sejak akhir tahun lalu. Adapun, pemerintah telah melonggarkan kebijakan pengetatannya Sejak Desember 2022.
Secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), PDB China tercatat stagnan 0%. Hasil tersebut turun dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 3,9% qtq, namun tak seburuk proyeksi sebesar -0,8%.
Sementara itu di Jepang, bank sentral (Bank of Japan/BoJ) telah memulai pertemuan kebijakan moneter terbarunya mulai hari ini hingga besok, di mana esoknya hasil dari pertemuan tersebut akan diumumkan dan menjadi perhatian pasar terkait kebijakan suku bunga BoJ.
Saat BoJ memulai pertemuan kebijakan moneter dua hari, pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Jepang (Japan Government Bond/JGB) tenor 10 tahun akan menjadi fokus investor karena terus menguji batas atas kisaran toleransi bank sentral.
Sejumlah ekonom memperkirakan BoJ akan membatalkan kebijakan kontrol kurva imbal hasil (yield curve control/YCC), di tengah melonjaknya yield obligasi pemerintah Jepang dan penguatan yen.
Langkah tersebut akan dilakukan kurang dari sebulan setelah BoJ membuat pasar lengah dengan memperluas kisaran toleransinya untuk yield JGB tenor 10 tahun.
Sejak itu, yield JGB 10 tahun telah melampaui batas atas kisaran baru yakni 50 basis poin di kedua sisi target 0% dalam beberapa kali.
Meski suku bunga akan tetap dipertahankan, tetapi beberapa pengamat menilai bahwa BoJ dapat membatalkan kebijakan YCC jika dilihat dari pergerakan yield JGB tenor 10 tahun dan yen.
Di sisi lain, pelaku pasar tengah khawatir akan laporan terbaru yang dirilis Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang kembali memberi peringatan terkait risiko fragmentasi dalam ekonomi global.
Dalam catatan terbarunya yang dirilis Senin kemarin, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan disintegrasi perdagangan dan perubahan teknologi telah merugikan beberapa komunitas.
Dukungan publik terhadap keterbukaan ekonomi telah menurun di beberapa negara dan sejak krisis keuangan global, arus barang dan modal lintas batas telah mendatar.
Hal tersebut diperparah oleh ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, China dan Amerika Serikat (AS) yang meningkatkan risiko pembatasan perdagangan baru.
"Sementara itu, perang Rusia ke Ukraina tidak hanya menyebabkan penderitaan manusia, tetapi juga gangguan besar aliran keuangan, makanan, dan energi di seluruh dunia," tulisnya.
Adapun perkiraan dampak fragmentasi tersebut sangat bervariasi. Namun, lanjut Georgieva, biaya jangka panjang dari fragmentasi perdagangan saja dapat berkisar dari 0,2% dari PDB global dalam skenario fragmentasi terbatas hingga hampir 7% dalam skenario yang parah atau kira-kira setara dengan gabungan PDB tahunan Jerman dan Jepang.
"Jika pemisahan teknologi ditambahkan dalam perhitungan, beberapa negara dapat mengalami kerugian hingga 12% dari PDB," katanya.
Namun, menurut analisis IMF yang baru, dampak penuh kemungkinan akan lebih besar lagi, tergantung pada berapa banyak saluran fragmentasi yang diperhitungkan.
Dia mengatakan selain pembatasan perdagangan dan hambatan penyebaran teknologi, fragmentasi dapat dirasakan melalui pembatasan lintas sektor yang memicu berkurangnya aliran modal dan penurunan tajam dalam kerja sama internasional.
Adapun, negara berkembang dikhawatirkan tidak akan lagi mendapat manfaat dari limpahan teknologi yang telah mendorong pertumbuhan produktivitas dan standar hidup. Alih-alih mengejar tingkat pendapatan ekonomi maju, negara berkembang akan makin tertinggal.