Kamis, 03 September 2020

PT Equityworld | Lagi Pandemi Begini, Pilih Beli Emas, Saham, atau Properti?

 PT Equityworld | Lagi Pandemi Begini, Pilih Beli Emas, Saham, atau Properti?

PT Equityworld | Di saat pandemi virus corona Covid-19 seperti saat ini, investor sepertinya harus berpikir panjang dalam berinvestasi. Pasalnya hampir seluruh sektor terdampak dari wabah virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok ini.

Beberapa instrumen investasi patut dilihat bagi kalangan investor, agar dapat meminimalisir risiko yang terjadi akibat pandemi corona.

Seperti yang kita tahu, banyak instrumen-instrumen dalam berinvestasi, seperti investasi tradisional seperti emas, investasi di pasar modal misalnya saham, atau investasi di sektor riil properti.

Emas merupakan instrumen investasi tertua di dunia, karena emas sudah dikenal banyak orang sebelum mengenal uang. Emas juga dianggap instrumen safe haven hingga kini.

Sedangkan saham adalah instrumen investasi berupa pembelian surat-surat berharga suatu perusahaan. Saham menganut prinsip high risk, high return, artinya jika kita ingin mendapat return yang besar, maka tingkat risiko yang akan terjadi juga besar.

Indikator keberhasilan suatu saham tercermin dalam indeks acuan saham-saham dari emiten yang tentunya sudah berstatus go public atau tercatat di bursa saham, dalam hal ini di Indonesia yakni Bursa Efek Indonesia. Indeks acuan saham-saham di Indonesia menggunakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).


Catat! Ini Lho Faktor yang Bisa Bikin Harga Emas Ambrol  | PT Equityworld



Instrumen investasi selanjutnya adalah investasi properti. Investasi ini dilakukan dengan cara pembelian, kepemilikan, pengelolaan, penyewaan, dan penjualan real estate untuk menghasilkan laba atau profit.

Investor di properti merupakan investasi cara lama yang mulai dihindari oleh sebagian investor, karena return yang akan didapat tidak semenarik dengan instrumen investasi lainnya seperti saham dan emas.

Umumnya, investasi di properti dilakukan saat pembangunan baru akan dimulai atau ketika masih berupa petak-petak tanah yang belum ada bangunannya. Hasil investasi dapat diambil ketika bangunan tersebut sudah jadi bahkan hingga seluruhnya jadi.

Oleh karena itu, Return yang diharapkan dari hasil investasi di properti akan didapat jika bangunan tersebut sudah jadi utuh. Alasan itulah yang menjadi investor properti mulai beralih ke instrumen lainnya.

Jika dilihat dari perbandingan grafik masing-masing instrumen, kinerja harga emas dunia 10 tahun terakhir menunjukkan positif hingga saat ini, awal September 2020, walaupun terjadi koreksi di tahun 2012, namun berhasil rebound pada tahun 2018.

Emas

Secara 10 tahun terakhir, harga emas mencatatkan reli setelah berhasil rebound pada 2015 yang merupakan tren pelemahan dari rekor tertinggi sebelumnya pada 2011 hingga menuju harga tertinggi berikutnya sepanjang sejarah di level US$ 2.069,4/troy ons.

Namun, pola pergerakan harga emas diprediksi mengulang kejadian pada tahun 2011, yakni pada 6 September 2011, harga emas dunia mencapai rekor tertinggi sepanjang masa kala itu di US$ 1.920.3/troy ons.

Kabar buruknya hari itu juga emas langsung ambrol, dan tidak pernah lagi menyentuh rekor tertingginya.

Harga emas memasuki dalam tren menurun, titik terendah yang dicapai yakni US$ 1.045,85/troy ons pada 3 Desember 2015.

Di Tanah Air, pada 31 Agustus 2015, harga emas Antam dibanderol Rp 577.000/gram, sementara pada 31 Agustus 2020, Rp 1.030.000/gram, artinya sudah melesat 78,51% dalam tempo 5 tahun. Kenaikan terbesar terjadi di tahun ini, 33,51% secara year-to-date (YTD).

Rekor termahal sepanjang sejarah emas Antam dicapai pada 7 Agustus lalu, Rp 1.065.000/batang pada 7 Agustus lalu, dan tidak menutup kemungkinan akan pecah lagi.

Saham

Sedangkan IHSG dilihat dari pola 10 tahun terakhir cenderung berbalik arah ke level tertinggi di 2015. Namun sepanjang itu, IHSG menunjukkan tren positif. Tetapi tren tersebut akhirnya terbanting akibat pandemi virus corona.

IHSG menjadi patokan dalam melihat pergerakan pasar saham di Tanah Air.

IHSG terkoreksi cukup dalam pada Maret hingga April 2020. IHSG sempat terkena suspend oleh BEI sebanyak 5 kali sepanjang Maret 2020. Catatan ini adalah catatan terburuk sepanjang sejarah, saat itu IHSG sempat terjun bebas ke level Rp 4.538,9 (mtm).

Kemudian, pada April, IHSG bergerak positif hingga sempat menyentuh level Rp 4.811,8, level tertinggi pada periode tersebut.

Pada Agustus, IHSG tercatat di level Rp 5.238,5 atau menguat 1,39% secara month to month (mtm). Kinerja IHSG periode itu mulai membaik dari posisi paling rendah pada Maret.

Namun, tren pergerakan IHSG belum mampu berbalik arah hingga menyentuh posisi semula awal tahun 2020, pada Januari, IHSG berada di level Rp 6.283,6.

Sampai saat ini, IHSG secara bulanan (mtm) masih berusaha menunjukkan penguatan, walaupun secara harian pada perdagangan akhir Agustus melemah 2,02%.

Data BEI mencatat, hingga Kamis ini (3/9/2020), sesi II, IHSG sudah menguat 11,45% dalam 3 bulan terakhir, kendati secara tahun berjalan masih minus 16,56%.

Properti

Sementara itu, tren indeks properti di Indonesia yang direkam oleh data Refinitiv, ternyata sempat mengalahkan tren emas dan IHSG.

Dilihat polanya, tren properti pada level tertingginya selama 10 tahun terakhir berada di tahun 2016. Namun akhirnya berbalik arah hingga saat ini berada di bawah tren emas dan IHSG.

Pola pergerakan sektor properti dalam jangka pendek sepertinya belum akan mengalami perubahan. Ini dibuktikan bahwa pada Agustus, tren pergerakannya cenderung melemah ke level 298,2, mendekati level terendah akhir 2012.

Data Bank Indonesia yakni Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia, sebelumnya mengindikasikan bahwa kenaikan harga properti residensial di pasar primer memang melambat.

Hal ini tercermin dari kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) triwulan I 2020 sebesar 1,68% (yoy), lebih rendah dibandingkan 1,77% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perlambatan IHPR diprakirakan akan berlanjut pada triwulan II 2020 dengan tumbuh sebesar 1,56% (yoy).

"Penjualan properti residensial pada triwulan I 2020 menurun signifikan. Hasil survei harga properti residensial mengindikasikan bahwa penjualan properti residensial mengalami kontraksi yang cukup dalam sebesar -43,19% (yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh terbatas sebesar 1,19% (yoy). Penurunan penjualan properti residensial tersebut terjadi pada seluruh tipe rumah," tulis siaran pers BI.

Di luar analisis di atas, sejak pandemi virus corona menyerang hingga hampir seluruh dunia, pola IHSG dan sektor properti sama-sama terkoreksi cukup dalam, tetapi emas malah rebound hingga menyentuh rekor tertinggi baru dari rekor tertinggi sebelumnya tahun 2011.

Bisa dibilang, keberhasilan pembalikan pola harga emas dunia disebabkan investor mulai percaya kembali berinvestasi di emas, sehingga emas yang dianggap salah satu safe haven masih terjaga hingga kini.

Apalagi di saat pandemi seperti sekarang yang belum pasti kapan berakhirnya membuat investor bermain aman. Jika investor memiliki emas yang umurnya lebih dari 10 tahun lalu, di waktu inilah saatnya profit taking emas, karena harganya masih terbilang tinggi.

Alasan investasi di emas sangatlah penting, yang pertama nilai emas cenderung naik dari tahun ke tahun, sehingga nilai kekayaan yang dimiliki oleh pemilik emas juga akan terus meningkat.

Kedua jika suatu negara mengalami krisis, maka nilai tukar emas meningkat, karena nilai tukarnya tidak terikat dengan tingkat inflasi dan berkebalikan dengan kondisi krisis

Ketiga emas tidak menghasilkan return cash flow, tetapi menghasilkan capital gain dari perubahan nilai dari tahun ke tahun.

Keempat transaksi emas ada yang tidak memakai bunga, seperti Pegadaian yang hanya menerapkan prinsip syar'i sehingga keuntungan yang diperoleh nasabah berasal dari harga emas itu sendiri.

Kelima, inti dari keempat alasan di atas, yaitu sebagai dana darurat, karena emas mudah dicairkan dan tidak terikat oleh inflasi.

Tapi semuanya kembali ke Anda, apakah memang masih ingin membeli emas, borong saham, atau beli properti, atau jangan-jangan lebih senang memegang cash?