Equity World | Resesi Dunia di Depan Mata, Lebih Baik Nabung atau Investasi?
Equity World | Ekonomi global diwarnai risiko resesi yang diperkirakan bakal melanda dunia pada 2023. Resesi ini dipicu pengetatan moneter oleh banyak bank sentral, juga imbas perang Ukraina-Rusia, hingga kebijakan zero-Covid di China.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sudah mengungkapkan resesi ini dipicu inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Kondisi tersebut memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas. Dampaknya akan dirasakan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk negara-negara berkembang.
Lantas, instrumen investasi apa yang harus dipilih di tengah situasi ekonomi global yang penuh tekanan?
Perencanaan Keuangan Advisor Alliance Group (AAG) Indonesia Dandy mengatakan kemungkinan resesi dalam waktu dekat bisa mempengaruhi market. Menurut dia, lebih baik jangan terlalu rakus mengambil keputusan, termasuk memilih instrumen investasi. Dia juga menyebut uang tunai bisa menjadi pilihan, karena tidak akan terlalu terpengaruh saat resesi.
"Karena cash sudah pasti uang nggak akan kemana mana dan bisa disiapkan saat resesi benar terjadi," kata Dandy mengutip CNN Indonesia.
Sedangkan untuk investasi obligasi bisa mengambil kupon tetap (seri FR-Fixed Rate), sehingga investasi tetap terjaga meski ada risiko resesi. Sementara untuk investasi saham harus memilih emiten yang tahan terhadap pelemahan ekonomi, seperti yang berada di jajaran LQ45.
"Emiten yang lebih tahan dampak resesi itu yang punya fundamental kuat, seperti di LQ45, misalnya," kata Dandy.
Dandy juga merekomendasikan investasi emas, karena dikenal sebagai aset safe haven. Umumnya saat ekonomi terpuruk harga emas malah cenderung naik seperti yang terjadi saat krisis pandemi Covid-19.
Sementara itu, perencana keuangan OneShildt Consulting Imelda Tarigan berpendapat reksadana juga masih bisa direkomendasikan sebagai instrumen investasi di tengah ancaman resesi. Dia merekomendasikan reksadana yang mendukung perputaran ekonomi domestik seperti reksadana pendapatan tetap.
"Less volatile, returnnya masih lebih tinggi dari inflasi, prospek setelah dua tahun lagi masih positif," katanya.