Equity World | Kecuali Nikkei, Bursa Asia Dibuka Lesu Lagi
Equity World | Mayoritas bursa Asia-Pasifik kembali dibuka melemah pada perdagangan Jumat (10/2/2023), jelang rilis data inflasi China pada periode Januari 2023.
Per pukul 08:30 WIB, hanya indeks Nikkei 225 Jepang yang menguat yakni sebesar 0,76%. Sedangkan sisanya melemah. Indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,3%, Shanghai Composite China turun 0,12%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,49%, ASX 200 Australia terpangkas 0,66%, dan KOSPI Korea Selatan merosot 0,89%.
Dari China, data inflasi consumer price index (CPI) dan producer price index (PPI) periode Januari 2023 akan dirilis pada pagi hari ini. Konsensus Trading Economics memperkirakan CPI China pada bulan lalu diprediksi naik menjadi 2,2% (year-on-year/yoy) dan 0,7% (month-to-month/mtm).
Sedangkan, PPI China pada bulan lalu diprediksi membaik menjadi -0,5% (yoy), dari sebelumnya pada Desember 2022 sebesar -0,7%, berdasarkan polling dari Trading Economics.
Data inflasi China akan dipantau ketat oleh pelaku pasar di Asia-Pasifik, sebagai bentuk dari dampak pembukaan kembali perekonomian China, setelah selama tiga tahun melawan pandemi Covid-19.
Sementara itu dari Australia, investor menunggu pernyataan bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) tentang kebijakan moneter kedepannya. Awal pekan ini, RBA kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 3,25%.
Bursa Asia-Pasifik cenderung mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street kemarin yang ditutup kembali lesu.
Indeks Dow Jones ditutup melemah 0,73%, S&P 500 merosot 0,88%, dan Nasdaq Composite ambles 1,02%.
Padahal di pembukaan perdagangan kemarin, Wall Street sempat menghijau. Dow Jones naik 0,7%, S&P 500 0,8%, dan Nasdaq melesat 1,4%.
Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia, kembali merosot, tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar Asia hari ini.
"Wall Street tidak bisa mempertahankan mood yang bagus. Beberapa trader melihat The Fed akan menaikkan suku bunga lebih tinggi dari yang diperkirakan pasar," kata Ed Moya, analis pasar di Oanda, sebagaimana dilansir CNBC Internasional.
Anjloknya saham Alphabet sebesar 4%, disusul dengan Meta 3% ikut menyeret Wall Street. Saham Disney yang sebelumnya menguat di awal perdagangan juga berbalik turun.
Kemudian, data yang dirilis dari AS menunjukkan klaim tunjangan pengangguran sebanyak 196.000 sepanjang pekan lalu, naik dari 13.000 dari pekan sebelumnya.
Rilis data ini membuat pelaku pasar melihat pasar tenaga kerja mulai melemah, tetapi pelaku pasar masih banyak yang was-was menanti rilis data inflasi pekan depan.
Sebab, jika inflasi kembali menanjak, ada risiko bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan kembali agresif menaikkan suku bunga. Hal ini juga diutarakan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell
"Kenyataannya kami bertindak berdasarkan data. Jadi jika kita terus melihat data, misalnya pasar tenaga kerja yang kuat atau inflasi yang kembali meninggi, itu akan membuat kami kembali menaikkan suku bunga dan bisa saja lebih tinggi dari yang diprediksi sebelumnya," ujar Powell.
Hasil polling dari Refinitiv menujukkan inflasi AS berdasarkan CPI tumbuh 0,5% pada Januari dari bulan sebelumnya (mtm). Ini berkebalikan dengan Desember 2022 yang terjadi deflasi (penurunan harga) sebesar 0,1% (mtm).
Selain itu, CPI inti juga diprediksi tumbuh 0,4% (mtm), lebih tinggi dari pertumbuhan Desember 0,3% (mtm).
Ekspektasi pasar terkait suku bunga The Fed kembali naik.
Sebelumnya berdasarkan perangkat FedWatch CME Group, pelaku pasar melihat puncak suku bunga The Fed tidak akan lebih dari 5%. Tetapi kini, ekspektasi tersebut kembali ke awal yakni 5% - 5,25%.
Bahkan, ada probabilitas sebesar 31% suku bunga The Fed berada di 5,25% - 5,5% pada Juni 2023. Probabilitas ini tentunya bisa semakin meningkat jika inflasi di AS kembali menunjukkan kenaikan.
Jika The Fed menaikkan suku bunga ke level itu, maka Amerika Serikat diprediksi akan mengalami resesi.