Kamis, 08 April 2021

Equityworld Futures | Duh, Kenaikan Harga CPO Diprediksi Hanya Sementara

 Equityworld Futures | Duh, Kenaikan Harga CPO Diprediksi Hanya Sementara

Equityworld Futures | Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) kembali bergerak menguat pada awal pekan ini. Meski demikian, fluktuasi harga diprediksi akan berlanjut pada tahun ini seiring dengan perbaikan jumlah produksi. Berdasarkan data dari Bursa Malaysia pada Rabu (7/4/2021), harga CPO untuk kontrak Juni 2021 sempat mencapai harga tertinggi pada 3.870 ringgit per ton sebelum tiba di harga setelmen 3.802 ringgit per ton. Sementara itu, harga CPO berjangka kontrak pengiriman bulan Juli 2021 terpantau naik 39 poin ke 3.630 ringgit per ton setelah sempat mencapai titik tertingginya pada 3.694 ringgit per ton.

Salah satu katalis positif bagi harga minyak kelapa sawit adalah kenaikan ekspor dari Malaysia. Data dari Intertek Testing Services menyebutkan, negara produsen CPO terbesar kedua di dunia tersebut mencatatkan kenaikan ekspor sekitar 11 persen selama lima hari pertama bulan April 2021 sebesar 184.070 ton.

Tren tersebut melanjutkan kenaikan ekspor CPO Malaysia yang terjadi pada Maret lalu. Berdasarkan survei Bloomberg yang melibatkan analis, pialang, dan perusahaan perkebunan, pertumbuhan ekspor Malaysia mencapai 29 persen dibandingkan bulan sebelumnya. “Pasar CPO akan dipengaruhi oleh sentimen bullish pada pekan ini seiring dengan kenaikan ekspor Malaysia yang berpotensi mengurangi persediaan CPO di negara tersebut,” jelas analis RHB Sekuritas Christopher Andre Benas dikutip dari Bloomberg.

Adapun, jumlah cadangan CPO di Malaysia naik 2,3 persen dari Februari 2021 menjadi 1,33 juta ton pada Maret lalu. Jumlah persediaan tersebut merupakan yang terbesar sejak November 2020, namun masih dibawah total cadangan Maret 2020 sebesar 23 persen.

Owner Palm Oil Analytics Singapura Sathia Varqa menyebutkan,kenaikan ekspor CPO pada bulan April akan cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh mulai menipisnya stok CPO di negara-negara importir utama seperti India dan China. “Harga CPO dengan kontrak yang paling banyak diperdagangkan kemungkinan tetap bertahan diatas level 3.500 ringgit per ton pada bulan ini,” jelasnya.

Sementara itu, Research Head Sunvin Group di Mumbai Anilkumar Bagani mengatakan selain pertumbuhan ekspor, harga CPO juga ditopang oleh kenaikan harga komoditas substitusinya, minyak biji kedelai. Meski demikian, kenaikan harga ini dapat menurunkan minat pasar untuk membelinya. “Saat ini terlihat hanya India yang melakukan impor. Tujuan lain, seperti China, terlihat stagnan karena margin impor yang buruk,” jelas Bagani. Bagani menambahkan, pelaku pasar juga tengah menunggu estimasi produksi CPO dari Malaysian Palm Oil Association pada pekan ini. Mereka juga menanti laporan ekspor dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB).

Managing Partner GGN Research, G.G. Patel mengatakan, total impor CPO India kemungkinan akan tumbuh menjadi 550.000 ton pada April 2021 berbanding estimasi untuk periode Maret 2021 senilai 529.000 ton. Sementara itu, CEO Malaysian Palm Oil Council (MPOC) Wan Zawawi bin Wan Ismail mengatakan harga CPO kemungkinan akan berada di kisaran 3.846 ringgit per ton pada semester I/2021. Hal tersebut seiring dengan kekhawatiran pasar terhadap keterbatasan pasokan akibat terganggunya produksi pada awal tahun ini. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang stabil dan kenaikan populasi di China akan menjadi salah satu faktor utama yang menjaga harga CPO tetap berada di level tinggi. Di sisi lain, konsumsi minyak nabati di wilayah Timur Tengah juga diprediksi akan meningkat seiring dengan pembukaan kembali ibadah Haji dan Umrah di Arab Saudi. Sebagai informasi, harga minyak kelapa sawit sepanjang tahun 2021 memiliki rerata 3.649 ringgit per ton.

Berdasarkan hal tersebut, Wan Zawawi memprediksi jumlah impor CPO China akan mencapai 6,8 juta ton, dengan 2,8 juta ton diantaranya berasal dari Malaysia. Sementara itu, impor dari Timur Tengah akan mencapai 2,7 juta ton, dengan 1,8 juta ton diantaranya berasal dari Malaysia. “Bulan Ramadan yang akan segera tiba juga akan meningkatkan permintaan untuk minyak nabati dan lemak,” katanya. Wan Zawawi melanjutkan, pemulihan angka produksi CPO akan terjadi pada dua negara eksportir utama, Indonesia dan Malaysia. Pihaknya memperkirakan jumlah produksi Malaysia akan naik menjadi 19,6 juta ton pada 2021 berbanding 19,14 juta ton pada 2020. Sementara itu, total produksi CPO Indonesia diperkirakan berada di kisaran 45 juta ton pada 2021. Jumlah tersebut naik 2 juta ton dibandingkan dengan total produksi Indonesia pada tahun 2020. Di sisi lain, Direktur Godrej International Ltd, Dorab Mistry mengatakan, harga CPO berjangka akan terbagi pada dua fase.

Pada fase pertama, harga minyak kelapa sawit diprediksi akan berada di kisaran 3.300 ringgit per ton hingga Juni mendatang. “Kemudian, pada fase kedua, harga akan jatuh ke level 2.700 ringgit per ton mulai Juli mendatang,” katanya dalam sebuah seminar industri daring belum lama ini. Lonjakan harga tersebut sesuai dengan proyeksi Mistry sebelumnya yang memperkirakan harga CPO akan melesat secara eksplosif sebelum akhir Maret. Hal tersebut terjadi seiring dengan outlook bullish baik dari permintaan dan pasokan komoditas ini beserta sentimen pasar yang positif. Ia melanjutkan, kendati outlook minyak nabati akan tetap ketat dalam jangka pendek, produksi sawit akan pulih pada paruh kedua tahun ini. “Harga sawit memang mahal dan kompetitif hanya karena produk substitusi seperti minyak biji kedelai atau minyak biji matahari juga berada pada level harga yang tinggi,” jelasnya. Hal serupa diungkapkan oleh Chairman LMC International, James Fry. Menurutnya, harga minyak kelapa sawit berpotensi terkoreksi hingga ke posisi 3.300 ringgit per ton pada kuartal IV/2021 seiring dengan prospek pemulihan produksi yang akan meningkatkan jumlah persediaan. Fry memaparkan, rendahnya produksi buah sawit menimbulkan masalah besar terhadap pasokan CPO global. Keterbatasan pasokan ini kian diperburuk oleh kegagalan pemerintah untuk mengurangi mandat bahan bakar biodiesel secara sementara untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan. “Kondisi berbeda terjadi pada 2016-2017 lalu. Selain itu, pergerakan bullish CPO juga telah memasuki fase akhir saat ini,” papar Fry.