PT Equityworld | Harga emas dunia masih kesulitan menguat pada di pekan ini, sebab pelaku pasar menanti kejelasan percepatan laju tapering bank sentral Amerika (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed).
Melansir data Refinitiv, emas pada perdagangan Rabu kemarin mengakhiri perdagangan di US$ 1.782,06/troy ons, melemah 0,11% di pasar spot.
Wall Street menguat tiga hari beruntun hingga Rabu (8/12) | PT Equityworld
Tingginya inflasi serta perekonomian yang kuat membuat The Fed mempertimbangkan untuk mempercepat tapering atau nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 15 miliar setiap bulan.
Nilai QE bank sentral paling Powerful di dunia ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.
The Fed diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan.
Normalisasi kebijakan moneter tersebut memberikan pukulan telak bagi emas yang membuatnya sulit menguat.
Meski demikian, emas sebenarnya menyimpan bahan bakar untuk meroket, yakni inflasi yang tinggi. Bahkan inflasi yang tinggi sudah terjadi saat ini, di Amerika Serikat misalnya yang berada di level tertinggi dalam lebih dari 3 dekade terakhir.
Emas secara tradisional dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi, ketika inflasi tinggi maka permintaannya akan meningkat.
Harga Emas yang menurun dan tidak banyak bergerak di tahun ini dikatakan "boring" oleh triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi".
Gundlach melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan.
Untuk diketahui, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.
Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, tertinggi sejak Agustus 1991.
Sang "raja obligasi" juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan, yang tentunya menguntungkan bagi emas.
Guna meredam inflasi tersebut, bank sentral AS (The Fed) diperkirakan akan menaikkan suku bunga secara agresif di tahun depan, dan Gundlach melihat hal tersebut akan menimbulkan masalah bagi perekonomian.
"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomoian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).
Selain itu, ia juga memperkirakan dolar AS akan jeblok di tahun depan akibat dobel defisit yang dialami Amerika Serikat. Dolar AS yang cukup kuat di tahun ini menjadi salah satu yang meredam kenaikan harga emas.
"Dolar AS meredam kenaikan emas. Saya pikir ketika dolar AS turun maka emas akan kembali naik," tambahnya.
Inflasi tinggi, masalah di perekonomian, serta dolar AS yang diprediksi akan merosot menjadi bahan bakar bagi emas untuk kembali meroket. Gundlach sendiri masih mempertahankan investasi emasnya untuk jangka panjang. Terakhir kali ia membeli emas pada September 2018 di harga US$ 1.180/troy ons.